“Pembohong dusta!” bentak seorang politikus ternama
bangsa ini. Kita pun sering menemukan “kebohongan” di atas lembar kertas media.
Kadangkala bahkan sering media dijadikan alat efektif menyebarluaskan “virus”
kebohongan. Media apapun itu tak lepas dari penyakit ini.
Media elektronik, media cetak dan media komunikasi
lainnya patutlah kita kritisi. Televisi misalnya. Betapa banyak “virus”
kebohongan memasuki media ini. Kita sudah sering menyaksikan tayangan sinetron
yang membohongi pemirsa.
Ambil contoh, sinetron yang ditayangkan oleh salah
satu stasiun TV negeri ini. Sinetron itu menceritakan seorang cewek yang
menyamar menjadi lelaki. Pemeran utama, sang cewek itu, hidup sekamar kos
dengan cowok. Anehnya, cowok itu tidak mampu mengidentifikasi penyamaran sang
cewek.
Secara nalar, hal itu tak mungkin terjadi. Seorang
lelaki dan perempuan perbedaannya jelas. Tidak ada “gray area” di situ.
Keduanya memiliki perbedaan yang terang benderang.
Saya pikir, semua media, media apapun itu, nalar,
kejujuran adalah hal utama. Tidak perlu membohongi diri sendiri atau membohongi
publik. Tidak perlu!
Kalau saja media bangsa ini bersikukuh
menyebarluaskan “virus” kebohongan, tidak menutup kemungkinan media bangsa ini
segera wafat, berguguran, dan hilang tanpa bekas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar