Kode
Etik Jurnalistik
A.
Pengertiannya
Menurut UU
Pers No. 40 tahun 1999, pada pasal 7 ayat 2 bahwa yang dimaksud
dengan Kode etik jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi
wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Dewan Pers, menurut pasal
15 ayat 1 dan 2 UU Pers, adalah sebuah dewan yang bersifat independen, yang
terdiri dari wartawan, pimpinan perusahaan pers, tokoh masyarakat ahli bidang
pers atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan,
dan organisasi perusahaan pers.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kode etik jurnalistik adalah sebagai aturan tata
susila kewartawanan, norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata
karma penerbitan.
B.
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak
asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak
asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.
Untuk
menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang
benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai
pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas
serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan
menaati Kode Etik Jurnalisti:
Pasal 1
Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Penafsiran
:
a. Independen
berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa
campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
b. Akurat
berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang
berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad
buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan
kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
Cara-cara yang profesional adalah:
a. Menunjukkan
identitas diri kepada narasumber;
b. Menghormati
hak privasi;
c.
Tidak menyuap;
d. Menghasilkan berita
yang faktual dan jelas sumbernya; pengambilan dan pemuatan atau penyiaran
gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan
secara berimbang;
e. Menghormati
pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
f. Tidak melakukan
plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
g. Penggunaan
cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi
berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah
memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara
proporsional.
c. Opini yang menghakimi
adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif,
yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak
bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu
yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai
dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan
tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam
dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau
tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar
dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data
dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk
melacak.
b. Anak adalah seorang yang
berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi
adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang
diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian
dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi
independensi.
Pasal 7
Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak
hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan
narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah
penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi
latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan
atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record”
adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan
atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah
anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah
sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah
segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan
kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti
tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran
dari pihak luar.
b. Permintaan maaf
disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak
seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan
terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak
setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,
baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional
berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik
dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jadi
kode etik berisi kaidah penuntun yang memberi arah yang jelas kepada wartawan
tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan
dalam kerja jurnalistik. Kode etik jurnalistik pada dasarnya adalah
rambu-rambu untuk menghindarkan wartawan dari kesalahan yang tidak perlu
terjadi dalam melakukan kerja jurnalistik, baik yang berupa penyajian berita
secara tidak seimbang, cenderung provokatif, emosional, memelintir
berita, memfitnah, seronok, dll.
Berikut
ini contoh-contoh kasus penyimpangan terhadap kode etik jurnalistik yang saya unduh
dari sumber aslinyahttp://alhamdriatnaanwar.com
1.
Sumber Imajiner
Adalah
berita yang berasal dari sumber yang tidak ada atau dengan kata lain, berasal
dari hasil rekayasa wartawan yang menulis berita tersebut.
2.
Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
Artinya
wartawan dilarang untuk memuat nama dan memasang foto korban atau pelaku
kejahatan secara jelas di media, dengan maksud untuk melindungi masa depan
anak-anak yang masih dibawah umur tersebut.
3.
Tidak Paham Makna “Off the Record”
Artinya,
wartawan dilarang untuk menyiarkan bahan yang diberikan oleh narasumber yang
berkata bahwa informasi tersebut adalah off the record.
4.
Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Maksudnya
adalah wartawan harus bersikap ragu tentang informasi yang diberikan narasumber
tersebut sampai informasi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Kalau
informasi tersebut tidak disertai fakta, maka belum layak untuk disiarkan.
5.
Melanggar Hak Properti Pribadi
Adalah
wartawan dilarang memasuki rumah seorang narasumber tanpa izin.
6.
Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Adalah
gambar ilustrasi yang dipasang harus sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian antara maksud
dari wartawan tersebut dengan pendapat masyarakat yang melihat berita tersebut
yang mengkaitkan antara gambar dengan isi berita tersebut.
7.
Wawancara Fiktif
Artinya
wartawan dilarang untuk meyiarkan berita yang merupakan hasil dari rekayasa,
karena tindakan ini termasuk dalam pemberitaan bohong dan juga dapat menjadi
fitnah yang sangat merugikan.
8.
Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
Artinya
wartawan dalam menyiarkan berita harus berdasarkan akal sehat, dan harus
terbukti kebenaraanya. Dengan cara bersikap skeptis dulu terhadap informasi
yang tidak masuk akal kemudian membuktikan apakah benar atau tidaknya hal
tersebut. Sehingga didapat fakta yang sebenarnya.
9.
Sumber Berita Tidak Jelas
Artinya
wartawan dilarang untuk meyiarkan berita tanpa mengecek darimana asal usul berita
tersebut dan wajib untuk mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
10.
Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar Hak jawab
merupakan
hak publik dalam membela kepentingan mereka terhadap informasi yang merugikan
mereka atau kelompoknya. Sehingga pers wajib melayani hak jawab tersebut.
11.
Membocorkan Identitas Narasumber
Artinya
wartawan dilarang untuk membocorkan identitas dari narasumber dengan alasan
keselamatannya. Karena wartawan mempunyai hak tolak yang dapat dipakai untuk
tidak mengungkapkan identitas narasumber. Sehingga kalau ada yang menanyakan
sumber informasi ini, wartawan berhak menolak untuk menyebutkan.
3.
Upaya Pemerintah dalam Mengendalikan Kebebasan Pers di Indonesia :
1) Sensor, adalah pengawasan dan
kontrol informasi atau gagasan yang beredar dalam suatu masyarakat. Seperti
pengawasan atas buku, majalah, pertunjukan, film, program televisi dan radio,
laporan berita, dan media komunikasi lain dengan tujuan mengubah atau
menghilangkan bagian tertentu yang dianggap tidak diterima atau tidak sopan.
2) Penerbitan SIUPP (Surat Ijin
Usaha Penrbitan Pers).
3) Pendirian Departemen
Penerangan.
4) Pemberlakuan UU Pers, Yaitu UU
No. 40 tahun 1999.
5) Pembreidelan, yaitu pencabutan
izin terbit. Di Indonesia surat kabar dan majalah yang pernah
dibreidel di masa Orde Lama dan Orde Baru, adalah:
Nama
|
Jenis
|
Tanggal
dibreidel
|
Keng Po
|
Surat
Kabar
|
1
Agustus 1957
|
Pos
Indonesia
|
Surat
Kabar
|
1957
|
Indonesia
Raya
|
Surat
Kabar
|
16
Agustus 1958
|
Star
weekly
|
Surat
Kabar
|
1961
|
Indonesia
Raya
|
Surat
Kabar
|
15
Januari 1974
|
Prioritas
|
Majalah
Berita
|
1986
|
Sinar
Harapan
|
Surat
Kabar
|
Oktober
1986
|
Monitor
|
Tabloid
Televisi, Radio dan Film
|
1992
|
Detik
|
Tabloid
Berita
|
1994
|
Editor
|
Majalah
Mingguan Berita
|
1994
|
Tempo
|
Majalah
Mingguan Berita
|
1994
Ket.
Terbit lagi setelah adanya permintaan maaf dari pihak majalah tempo.
|
Perspektif
|
Acara
Talk show Televisi
|
1995
|
Dialog
Aktual
|
Acara
Talk Show Televisi
|
1998
|
6) Distorsi peraturan perundangan, adanya upaya penghilangan
kebebasan pers itu sendiri memlalui undang-undang. Contoh adanya
keinginan DPR untuk mengamandemen UU No. 40 tahun 1999, adanya UU hak
cipta, UU tentang perlindungan konsumen, UU Penyiaran, dan
pasal-pasal ancaman pidana di KUHP.
7) Perilaku aparat, adanya usaha mengendalikan
kebebasan pers dengan cara menelpon redaktur, mengirimkan teguran tertulis ke
redaksi media massa, melakukan kekerasan pisik kepada wartawan, menangkap dan
memenjarakan, bahkan membunuh wartawan.
8) Pengadilan Massa, dengan adanya kebebasan pers yang
tidak digunakan untuk menguimbar sensasi, kerja jurnalistik asal-asalan, rumor,
isu, dugaan, penghinaan, hujatan dimuat begitu saja, sehingga masyarakat
dirugikan. Mereka menghukum pers sesuai dengan caranya sendiri (main
hakim sendiri) seperti menculik, merusak kantor media massa, penganiayaan
wartawan, dll.
9) Perilaku pers itu sendiri, perolehan laba menjadi
lebih utama dari pada penyajian berita yang berkualitas dan memenuhi standar
etika jurnalistik, akibatnya beberapa media tumbuh menjadi kekuatan anti
demokrasi, sehingga lebih mengutamakan hiburan daripada memberikan informasi
yang syarat makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar